Insektisida Nano: Senjata Baru yang Ampuh untuk Perangi Nyamuk
Nyamuk dikenal sebagai serangga vektor (penular penyakit) yang sangat berbahaya (malaria, demam berdarah dengue, zika, chikungunya). Bahkan ia mendapat julukan sebagai makhluk paling mematikan di dunia. Pada tahun 2022, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, terjadi 600 ribu lebih kematian karena malaria dan tujuh ribuan karena demam berdarah dengue (DBD). Ratusan ribu nyawa manusia melayang hanya dalam waktu setahun.
Sejak malaria ditemukan pada tahun 1897 oleh Sir Ronald Ross, perang antara manusia dan nyamuk semakin berkobar. Hingga saat ini perang itu belum berakhir. Manusia telah menggunakan berbagai teknologi sebagai senjata melawan resiliensi dan kompetensi nyamuk menebar ancaman penyakit di seluruh dunia.
Penemuan diklorodifeniltrikloroetana (DDT) pada tahun 1939 menandai dimulainya era insektisida kimiawi untuk pembasmian nyamuk. Zat ini awalnya digunakan secara luas karena mampu menurunkan populasi nyamuk secara efektif dan mengendalikan wabah secara cepat. Namun, karena berdampak buruk pada lingkungan, DDT resmi dilarang secara global dengan ditandatanganinya Konvensi Stockholm pada tahun 2001.
Paska pelarangan DDT, banyak muncul kembali wabah malaria. Khususnya pada wilayah dengan implementasi alternatif pengendalian vektor yang lemah dan hanya mengandalkan insektisida saja. Nyamuk juga cepat menjadi resisten terhadap DDT, bahkan sebelum pelarangan. Maka untuk menggantikan peran DDT, insektisida alternatif dikembangkan.
Penggunaan insektisida kimiawi konvensional seiring waktu juga menemui kendala. Insektisida konvensional memiliki spektrum toksisitas yang luas, sehingga dapat membunuh serangga yang menguntungkan bahkan hewan selain hama. Partikel insektisida juga berpotensi terbawa angin dan cepat mengalami degradasi ketika diaplikasikan di luar ruangan. Akibatnya efektivitas insektisida dapat berkurang secara signifikan.
Dosis tinggi sering digunakan mengkompensasi kekurangan agar tetap bekerja secara efektif. Namun hal tersebut justru menjadi backfire terhadap lingkungan karena bioakumulasi (penumpukan zat pada organisme) yang membahayakan kehidupan hewan dan manusia. Pemakaian dosis yang serampangan malah bisa memicu resistensi, membuat nyamuk kebal insektisida. Sehingga jenis insektisida yang sama tidak akan mempan lagi digunakan pada populasi resisten tersebut.
Insektisida terus ditingkatkan efektivitas dan diminimalkan dampak negatifnya. Dewasa ini, teknologi nano juga dijajaki untuk menciptakan senjata baru, nano insektisida. Ini adalah generasi baru insektisida berwujud material nano. Pelbagai hasil penelitian dan inovasi mengenai aplikasi material nano berbahan dasar nabati untuk memerangi nyamuk vektor telah dihasilkan satu dekade terakhir.
Mandodan dkk pada tahun 2023 berhasil menguji penggunaan insektisida nano (insektisida berukuran partikel nano) untuk pengendalian nyamuk. Hasilnya menunjukkan insektisida nano memiliki tokosisitas pembunuh nyamuk vektor yang sangat efektif.
Mengenal material nanoMaterial nano adalah material dengan dimensi eksternal minimal 100 nanometer (sepersejuta milimeter) atau kurang atau dengan struktur internal 100 nanometer atau kurang. Dibanding materi asalnya, materi nano lebih kokoh, lebih ringan, dan dengan rasio luas permukaan dibanding volume yang lebih tinggi. Suatu teori menyatakan, semakin kecil ukuran sebuah material, proporsi atom di permukaannya akan semakin besar. Reaktivitas material pada partikel nano meningkat serta perilakunya berubah dibanding material aslinya. Bisa dikatakan partikel berukuran nano berbeda sifat fisika dan kimiawinya dibandingkan material asalnya.
Lalu bagaimana material ini, khususnya insektisida nano dibuat?
Nano insektisida dapat diciptakan dengan dua cara: pemrosesan formulasi bahan aktif menjadi ukuran nano atau dengan proses kapsulasi dalam molekul carrier menggunakan proses nano teknologi disesuaikan dengan sifat molekul yang diinginkan. Sifat-sifat tersebut bisa berupa kemampuan terurai secara alami, pelepasan bahan aktif yang terkendali, perlindungan bahan aktif dari degradasi, dan sebagainya.
Insektisida nano merupakan pendekatan pengendalian vektor yang lebih efektif dan ramah lingkungan. Pasalnya, insektisida nano tidak menggunakan pelarut organik volatil yang berbahaya. Insektisida jenis permethrin yang dimodifikasi menjadi material nano dilaporkan menguat efektivitas, daya simpan, dan spesivisitas targetnya. Dampak kepada organisme non-target juga mampu diminimalkan.
Apa sebabnya? Material nano yang kecil dan tipis mampu menembus membran biologis nyamuk. Oleh karenanya, bahan aktif yang diperlukan lebih sedikit sehingga dampak buruk pada manusia, hewan dan lingkungan dapat ditekan. Keunggulan material nano lainnya adalah formulasi yang berbeda dapat diracik sesuai dengan fase perkembangan nyamuk yang ditargetkan. Sehingga hasilnya lebih efektif.
Aplikasi teknologi nano untuk pengendalian nyamukBerbagai produk inovatif dapat dikembangkan untuk mengendalikan populasi nyamuk. Produk yang paling populer diantaranya insektisida, repelan, dan agen pengendali hayati. Efektivitas insektisida tradisional dapat ditingkatkan dengan proses enkapsulasi bahan aktif dalam partikel nano. Agar penggunaannya tepat sasaran, nano carrier dapat dikembangkan untuk membawa insektisida maupun agen pengendali hayati kepada targetnya.
Berbicara tentang populasi, mereka bisa dikendalikan dengan rekayasa genetika dan sensor nano. Teknologi nano dapat digunakan untuk modifikasi gen yang berperan pada reproduksi nyamuk. Terganggunya gen tersebut dapat menggagalkan nyamuk dalam menghasilkan keturunan. Sedangkan sensor nano dapat digunakan untuk memantau populasi dan tempat perkembangbiakannya. Sehingga strategi pengendalian populasi dapat dilakukan dengan lebih akurat.
Secara umum teknologi nano sangat menjanjikan dikembangkan lebih jauh menjadi strategi yang inovatif. Tujuannya adalah membuat implementasi pengendalian vektor yang lebih efektif dan ramah lingkungan.
Tantangan aplikasi insektisida nanoPengendalian nyamuk dengan material nano masih menghadapi tantangan karena kurangnya pemahaman pada interaksi antara serangga dan material berukuran nano. Toksisitas material nano pada lingkungan masih terus diteliti. Senyawa yang digunakan mungkin dapat mencemari lingkungan ketika memasuki rantai makanan, dan menyebabkan risiko kesehatan pada mamalia melalui pernafasan atau kontak dengan kulit karena ukurannya yang sangat kecil. Sebagian besar material nano yang diteliti merupakan partikel nano inorganik metalik.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangan dalam penggunaan insektisida nano diantaranya dampak pada lingkungan dan kesehatan manusia. Efek samping jangka panjang penggunaan insektisida nano belum sepenuhnya diketahui. Ketahanan bahan insektisida di lingkungan mungkin bisa membahayakan organisme non-target. Berbagai jenis serangga yang bermanfaat pada penyerbukan maupun musuh alami hama pengganggu bisa ikut musnah. Material nano yang terhirup atau menempel pada kulit bisa merugikan kesehatan.
Bahan nabati dan senyawa bioaktif insektisida nano telah menunjukkan peran penting dalam memerangi nyamuk vektor. Sejumlah penelitian melaporkan efektivitas nano material yang sangat ampuh. Pada gilirannya, emulsi nano dan partikel nano telah terbukti menjadi sistem fungsional untuk menghantarkan agen dengan aktivitas pembunuh nyamuk yang sangat efektif.
Karena insektisida nano ini tergolong inovasi baru, penelitian komprehensif untuk memahami perilaku materi, efektivitas dan dampaknya pada ekologi masih terus dilakukan. Tentunya titik kesetimbangan antara keunggulan dan tantangannya harus ditemukan. Pengelolaan yang tepat sangat krusial untuk menjamin pengembangan dan penggunaan insektisida nano yang efektif dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Sidiq Setyo Nugroho
Pusat Riset Biosistematika & Evolusi/Taksonomi Nyamuk - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Video: Menkes soal Perangi Malaria dengan Perkuat SurveilansSebelumnya:Tidak ada lagi Selanjutnya:7 Tanaman Paling Beracun di Dunia yang Bisa Memicu Kematian!